Tempat, Tanggal Lahir : Bandarlampung, 2-2-1992
Ayah : Willy Hidayat (+)
Ibu : Maria Margaretha Limi Febiyana
Anak Ke- : Dua dari dua bersaudara
Paroki Asal : + Paroki Katedral Kristus Raja, Tanjungkarang-Bandarlampung
+ Paroki St. Alfonsus Rodriguez, Pademangan-Jakarta Utara
Riwayat Pendidikan dan Pastoral:
1996-2007: TK-SMP St. Fransiskus,
Tanjungkarang - Bandarlampung
2007-2010: SMA St. Maria Della Strada,
Pademangan - Jakarta Utara
2010-2012: Novisiat Ordo Salib Suci (OSC), Bandung
28 Agustus 2012: Kaul Pertama di Kapel St. Helena, Pratista
2011-2015: S1-Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (FF-UNPAR), Bandung
2015-2016: Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Rumah Retret Pratista, Cisarua-Bandung Barat.
2016-2018: S2-Magister Ilmu Teologi Universitas Katolik Parahyangan (MIT-UNPAR), Bandung
28 Agustus 2017: Kaul Kekal di Biara Pratista
21 November 2018: Tahbisan Diakon di Seminari Tinggi Fermentum, Keuskupan Bandung
2018-2019: Tahun Pastoral/Tahun Orientasi Diakonat (TOD) di Paroki St. Ignatius-Cimahi
Allah Bekerja Pada Waktu-Nya dan dengan Cara-Nya
Suatu kali di kala kecil, saya pernah mengikuti Misa di deretan bangku depan di Gereja Katedral Kristus Raja, Tanjungkarang-Bandarlampung. Saat itu saya terkesan melihat seorang om-om memakai jubah lebar berwarna-warni, yang belakangan saya ketahui adalah seorang “romo” atau “pastor,” dan jubah keren yang dikenakannya bernama “kasula.” Rupanya, untuk dapat mengenakan kasula, seseorang harus menjadi seorang pastor. Maka, sama seperti kebanyakan anak kecil yang “terpanggil” lainnya, saya pun ingin menjadi pastor dan sempat hobi bermain Misa-misaan. Selimut di rumah menjadi korban. Saya lubangi bagian tengahnya agar dapat dimasuki kepala dan menjadi kasula-kasulaan. Anak-anak tetangga pun saya ajak berperan sebagai umat dalam “Misa ilegal” tersebut. Lucunya, sebagian dari mereka beragama non-Katolik. Permen yang akan dibagikan dalam “Ritus Komuni” menjadi daya tarik bagi mereka untuk mengikuti permainan asing ini dengan setia. Beginilah cara awal Tuhan menanamkan benih panggilan dalam diri saya.
Akan tetapi, meskipun senang bermain Misa-misaan seperti ini, kehendak saya untuk menjadi Pastor saat itu tidaklah kuat. Saya hanya sekadar melakukan simulasi Misa saja, sama seperti anak-anak kebanyakan yang senang meniru para tokoh idolanya. Namun, saya tidak mengidolakan seorang imam pun. Sebab, saya tidak kenal baik dengan mereka karena jarang bertemu. Kalau ditanya siapa tokoh idola saya semasa kecil, maka saya akan menyebut dua nama tokoh kartun legendaris: Doraemon dan Songoku-Dragon Ball. Saya hanya mengidolakan sosok imam atau pastor pada umumnya, yang tampil keren saat mempersembahkan Misa (Ekaristi) Kudus. Karena hanya mengagumi secara umum dan lahiriah, maka cita-cita untuk menjadi imam sangat mudah hilang.
Seiring perjalanan waktu, banyak cita-cita yang ingin saya wujudkan di masa depan. Saya hendak mengem-bangkan hobi menggambar saya dengan menjadi pelukis, komikus, atau arsitek. Kebetulan nilai sekolah saya cukup baik sehingga saya juga sempat ingin menjadi dokter. Karena jadi dokter itu harus cerdas, katanya. Jelang tamat SMP, salah seorang sahabat saya mendaftarkan diri di Seminari Menengah Mertoyudan-Magelang. Tentu saja dia melanjutkan pendidikan di sana karena ingin menjadi pastor. Saat itu saya sama sekali tak berminat mengikuti jejaknya. Kalau berusaha diingat-ingat, mengapa saya akhirnya tertarik untuk menjadi pastor juga, kira-kira beginilah kronologinya. Pada saat mengambil ijazah SMP, setiap siswa harus melakukan pengambilan cap tiga jari. Entah hanya perasaan saya atau memang demikian, ketika saya amat-amati, tinta di jari manis saya membentuk sebuah salib, lengkap dengan corpus-nya.
Persis beberapa hari setelah saya menyadari “penampakan” itu, pada suatu malam, saya mengalami mimpi unik yang tak terlupakan hingga kini. Ada seorang anak berkacamata yang sedang memimpin Misa bersama Tuhan Yesus di belakangnya. Saya ingat betul senyum lembut Tuhan kepada sang anak. Keesokan harinya, saya segera menceritakan berbagai peristiwa spiritual yang saya alami kepada seorang suster (biarawati) yang merupakan salah satu guru SMP saya. Suster itu berkata, “Mungkin kamu dipanggil Tuhan!” Sontak saya menjawab, “Waaah, Saya belum mau mati, Suster!” Ternyata, maksudnya dipanggil untuk menjadi pastor seperti dalam mimpi itu. Peristiwa-peristiwa aneh dan peneguhan dari suster saya itu membuat keinginan masa kecil untuk menjadi imam kembali timbul dan menguat. Tiba-tiba, saya ingin ikut-ikutan sahabat saya tadi untuk masuk ke Seminari Mertoyudan. Sayangnya, pendaftaran seminaris baru saat itu telah ditutup. Saya pun melanjutkan pen-didikan SMA di sekolah biasa. Begitulah Allah memanggil saya pada waktu-Nya dan dengan cara-Nya yang sangat tidak biasa.
“Dikejar” Allah Sampai ke Ibukota Jakarta
Setelah tamat SMP, berbagai alasan membuat saya sekeluarga harus pindah dari Lampung ke Jakarta. Perasaan saya campur-aduk: ada kesedihan, kemarahan, penolakan, tapi juga ada harapan. Saya sebenarnya tidak bersedia meninggalkan kota kelahiran dan harus beradap-tasi lagi dengan lingkungan baru. Apalagi ke ibukota Jakarta yang kabarnya tak ramah. Namun, perasaan campur-baur itu kini berubah menjadi syukur. Demikian-lah setiap “hikmah” memang selalu baru dapat dicerna melalui proses perenungan panjang pascakejadian. Saya sadar, panggilan saya untuk menjadi pastor tidak akan terpelihara dan berbuah seperti sekarang ini seandainya saya tidak pindah ke Jakarta. Sebab, di sinilah saya baru mulai mengenal kehidupan membiara dan memperdalam iman Katolik melalui berbagai kegiatan menggereja.
Saya baru tahu bahwa ternyata ada banyak Ordo atau Tarekat Religius, ternyata Agama Katolik seperti ini dan seperti itu. Jarak tempat tinggal saya dengan Gereja yang tak jauh membuat saya dapat mengikuti berbagai kegiatan menggereja secara intensif. Saya pun bergaul dengan teman-teman misdinar, aktif di OMK dan mengikuti berbagai pementasan teater yang mengesankan bersama mereka, ikut-ikutan Persekutuan Doa, Kelompok Meditasi Kitab Suci, dan sebagainya. Semua pengalaman ini mem-buat saya semakin bersemangat menanggapi panggilan Tuhan. Saking bersemangatnya, saya sampai auto-hafal semua Ordo Klerikal dan semua nama uskup se-Indonesia.
Selain karena hal-hal berbau rohaniah seperti di atas, panggilan menuju imamat sekaligus semakin terpe-lihara dan berkembang justru karena saya dihadapkan dengan berbagai hal duniawi; dan kota metropolitan Jakarta tidak pernah kekurangan stock untuk menyediakan kenikmatan bagi warganya. Dengan menjalani masa-masa SMA di Jakarta, saya disadarkan bahwa panggilan ilahi ini tetaplah dihidupi dalam raga insani. Sebagai seorang pemuda, saya mengalami indahnya mencintai dan dicintai, dikagumi dan mengagumi, dirindukan dan merindukan lawan jenis. Saya bersyukur atas segala pengalaman hakiki ini. Saya justru merasa tak pantas menjadi imam kalau sudah tak bisa mencintai, karena saat itu saya sudah bukan manusia normal lagi.
Dengan mengolah semua perasaan yang berke-camuk, saya mampu menentukan pilihan dengan tegas: “mau menjadi ‘Romo’ bagi umat Allah, atau ‘Romo’ bagi istri dan anak-anak?” Cara menentukannya cukup mudah, yakni dengan merenungkan: “manakah jalan hidup yang paling membahagiakan saya?” Dalam perenungan saya saat itu, saya merasa paling bahagia ketika kehadiran saya mampu memberi penghiburan dan peneguhan bagi banyak orang, ketika pelayanan saya membuat orang lain mampu tersenyum di tengah kegetiran hidupnya, dan manakala perkataan saya berhasil menginspirasi sesama untuk men-jadi lebih baik. Sampai saat ini, saya merasa tak ada kebahagiaan yang lebih besar selain dapat membahagiakan sesama. Maka, bagi saya pribadi, jalan terbaik untuk itu adalah dengan menjadi pastor-bukan sekadar motivator.
Ditahan Tuhan di Jalan Panggilan “tak Berkawan”
Begitu lulus SMA pada tahun 2010, saya memutus-kan untuk bergabung dengan Ordo Salib Suci (OSC) yang bermarkas pusat di Keuskupan Bandung. Tidak ada kawan sealmamater yang tertarik untuk saya ajak menjadi pastor juga. Bagi orang muda kebanyakan, jalan hidup ini memang tampak aneh. Alasan awal saya memilih OSC, dan bukan Ordo lain, sangat sederhana: “jubahnya keren” dan “biaranya dekat dari Jakarta.” Saat itu saya tidak mendaf-tarkan diri di universitas manapun karena yakin bahwa sudah pasti diterima di OSC. Saya memperoleh keyakinan seperti ini karena rajin berdoa melalui perantaraan Bunda Maria, terutama setiap kali mampir di Gereja. Doa saya benar dikabulkan Allah. Saya pun masuk biara bersama sepuluh teman novis lainnya sebagai novis termuda dan paling tak berpengalaman. Kesepuluh rekan seangkatan saya “jebolan” seminari menengah atau sudah punya pengalaman bekerja, sementara saya tidak.
Saya sempat merasa hebat karena langsung diteri-ma di seminari tinggi (novisiat) untuk menjadi calon kaum selibat. Namun, banyak orang menilaiku nekat. Baru saja sebulan SMA tamat, berani minggat, gaya-gayaan, ingin ikut Yesus sampai mangkat. Benar saja, saya mengalami kesulitan beradaptasi dengan pola hidup dan berbagai dinamika dalam biara. Berbagai konflik yang ditimbulkan oleh kesalahpahaman pun pernah menjadi “bumbu penyedap” dalam hidup panggilan ini. Akan tetapi, belum pernah terlintas sekalipun niat untuk mengkhianati Yesus dengan menanggalkan jubah dan meninggalkan Ordo. Saya menghayati bahwa hidup panggilan ini pertama-tama adalah urusan saya secara personal dengan Allah yang memanggil, dan bukan dengan siapa-siapa. Saya harus mengakui dengan rendah hati bahwa banyak kekurangan yang saya miliki dibandingkan rekan-rekan lainnya kala itu. Untuk itu, saya memacu diri untuk berjuang sedikit lebih keras, agar tidak ketinggalan.
Jelang akhir tahun kelima, angkatan saya masih bertahan enam orang. Kami pun disebar untuk belajar berpastoral di berbagai wilayah karya OSC, sebelum melanjutkan ke jenjang pembinaan selanjutnya. Saya diutus menjalani Tahun Orientasi Pastoral ini di Rumah Retret Pratista pada 2015-2016, sebagai pembimbing retret. Sebenarnya saya ingin bertugas di tempat lain, supaya tidak bosan. Sebab, setiap biarawan OSC pasti telah menjalani dua tahun masa pembinaan awal di Novisiat-Pratista, sebelum pindah ke Skolastikat-Sultan Agung, Bandung, untuk menyelesaikan studi filsafat. Artinya, kini saya harus kembali lagi ke Pratista.
Namun, saya yakin bahwa kebahagiaan tidak pernah ditentukan oleh di mana saya ditugaskan atau kepada siapa saya melayani. Saya pun berusaha menikmati perutusan ini. Perjumpaan dengan rekan-rekan OSC sekomunitas dan dengan banyak peserta retret, perlahan-lahan membuat saya menjalani tugas ini dengan sukacita. Melalui perjumpaan dengan mereka, terutama para peserta retret yang “bermasalah”, motivasi saya justru semakin dimurnikan, “Orang-orang sakit-lah yang membu-tuhkan tabib.” Sepulang dari Tahun Pastoral, angkatan saya masih tersisa tiga orang. Jelang pengikraran kaul kekal di tahun ketujuh, dua rekan lainnya juga me-ninggalkan Ordo. Angkatan saya pun “masih” sisa seorang, namun saya tak pernah merasa sendiri, sebab saya percaya Allah Tritunggal Mahakudus senantiasa besertaku, “Jadi saya masih selalu berempat!”
Di tahun kedelapan, dua bulan setelah lulus S2, saya menjalani Tahun Orientasi Diakonat di Paroki St. Ignatius-Cimahi. Saya bersyukur ditempatkan di paroki dengan jumlah umat terbesar kedua di Keuskupan Bandung ini. Gereja ini juga sangat bersejarah, sudah lebih dari seratus sepuluh tahun ia eksis di Kota Cimahi sebagai gereja terbesar. Saya pun bisa belajar sangat banyak hal dari umat beriman di sini: keramahan, kesopansantunan, kese-diaan berbagi, kerelaan melayani, dan persekutuan yang guyub. Sebagai komunitas insani, tentu masih ada saja kekurangan umat dalam membangun kehidupan meng-gereja, bahkan dalam komunitas pastoran pun mungkin terjadi demikian. Sebab kita belum mati, kita belum men-jajaki Surga, di mana segalanya serba sempurna.
Akan tetapi, saya menghayati bahwa untuk itulah kita dihadirkan Allah di suatu tempat; “Daripada mengu-tuki kegelapan, lebih baik mencari dan menyalakan pene-rangan!” Dalam setiap masa berat dan sepi di jalan panggilan, kucoba menanggung semua perkara dalam Dia yang telah hidup dan mati untuk kita semua. Saya ingin selalu bangkit dalam kesadaran bahwa mengikuti Yesus memang bukan perkara gampangan. Meski tanpa kawan-kawan seangkatan, saya mau berusaha untuk menghidupi imamat suci ini dengan tetap penuh semangat dan sukacita, agar komunitasku dan seluruh dunia tahu bahwa tiada pernah ada kesendirian dan permasalahan (“salib-salib”) yang luar biasa di hadapan Allah yang Mahakuasa! ***
コメント