Minggu Biasa XXVI Tahun C
Amos 6:1a.4-7; 1Timotius 6:11-16, Lukas 16:19-31
Amos menyampaikan teguran yang keras buat orang Israel: “celakalah orang-orang yang merasa aman di Sion, yang merasa tenteram di gunung Samaria, yang berbaring di tempat tidur dari Gading, yang duduk santai di ranjang, yang memakan anak lembu (makanan enak), yang bernyanyi (sambil) mendengar bunyi gambus, yang minum anggur dari bokor, yang berurap dengan minyak yang paling baik, tetapi tidak berduka karena hancurnya keturunan Yusuf” (bdk Am 6:1a.4-7)
Amos mengkritik cara hidup asosial orang Israel. Mereka tidak tergerak hatinya untuk menolong sesamanya yang lagi mengalami kesulitan atau penderitaan. Sikap dan cara hidup yang tidak peduli dengan orang serta lingkungan sekitar sangat dilawan dan dikutuki oleh Amos. Bagaimana mungkin dalam sebuah kebersamaan, orang lain mengalami kesulitan, kesusahan atau penderitaan sedangkan yang lain “bersenang-senang” tanpa mempedulikan sedikit pun situasi sesamanya yang menderita. Cara hidup, kelakuan, sikap seperti ini masih banyak orang menghidupinya sampai sekarang.
Hal ini diperparah oleh semakin masuknya pengaruh individualisme ke lingkungan kita. Tetangga rumah kita ada yang sakit keras, tetapi tetangga yang lainnya lagi, membuka musik dengan suara yang keras, menyanyi dengan suara yang melengking seakan menyampaikan pesan, kau-kau dan saya-saya. Kau mau mati di rumahmu itu urusanmu, sedangkan saya mau senang dan menikmati hidupku”. Padahal budaya “kekeluargaan”, seperasaan-sepenanggungan adalah kebiasaan yang selalu dipraktekan pendahulu kita. Ada erosi nilai, ada jamur ingat diri yang begitu mematikan, ada intoleransi.
Kritikan serta kutukan Tuhan yang disampaikan Amos untuk orang Israel juga merupakan kutukan untuk kita, yang terlalu hidup “asosial”; acuh tak acuh dengan sesama dan kegiatan bersama. Termasuk juga untuk mereka yang tidak peduli dengan kehidupan menggereja. Padahal kalau mati, kita masih membutuhkan orang lain untuk menguburkan jasad kita.
Dalam teks Lukas 16:19-31 diceritakan tentang orang kaya yang “asosial” dan Lazarus yang miskin, penuh borok. Si kaya, sama sekali tidak ada kepedulian dengan sesama, apalagi yang berkekurangan, yang susah atau menderita. Ia setiap hari bersukaria dalam kemewahannya. Sedangkan Lazarus: dia adalah seorang pengemis, badannya penuh dengan borok (bisul-bisul, kudis), berbauh tengik. Praktisnya dia tidak bisa bekerja untuk memperjuangkan dan mempertahankan hidupnya. Yang bisa ia lakukan yaitu mengemis. Ia coba mengaduh keberuntungannya dengan berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu. Kerinduannya supaya ia bisa memperoleh remah-remah makanan yang jatuh dari meja orang kaya itu.
Bayangkan kalau kerinduan kecil orang-orang miskin tidak terpenuhi, pasti mereka hanya menarik napas panjang dan mengelus dada, sambil meneteskan air mata sedih. Mereka sedih dengan kondisi fisik serta situasi yang menimpa mereka. Walau pun begitu, orang yang tidak beruntung nasibnya adalah pejuang yang tangguh agar bisa bertahan hidup. Sisah makan dari tempat sampah pun dinikmatinya, seperti orang berduit menikmati makanan di restaurant terkenal. Yang membuat mereka menikmati makanan itu, karena masih bisa mengisi perut untuk mempertahankan hidup.
Orang jatuh miskin, menderita dan berkesusahan dalam hidup, bukan karena mereka yang melamarnya untuk itu, tetapi lebih karena situasi / ketidakberuntungan. Orang menjadi tidak beruntung nasibnya, bisa disebabkan karena system sosial - budaya yang berlaku di tempat itu.
Orang-orang yang tidak beruntung nasibnya itu lahir di tempat yang salah, pada situasi yang salah, juga pada budaya yang salah. Intinya orang miskin, orang sakit dan orang yang menderita itu ada bukan karena mereka mau untuk itu, tetapi terlahir dalam situasi seperti itu. Banyak orang yang terlahir dalam situasi yang tak beruntung, kemudian menjadi orang yang sukses dan hebat. Tetapi tidak sedikit juga orang yang tidak bisa keluar dari situasi menyedihkan itu.
Kita kembali ke cerita Lazarus. Apa yang ia dapat setelah berbaring di dekat pintu orang kaya tadi? Jangankan remah-remah makanan dari meja orang kaya itu, disapa saja tidak. Sungguh malang dan menderita nasibnya. Tetapi syukur anjing-anjing masih lebih bersikap sosial, walau pun Lazarus bukan sebangsanya, tetapi mereka coba untuk membantu sejauh mereka dapat. Anjing-anjing membantu membersihkan borok Lazarus. Mereka menjilatnya sampai bersih. Anjing-anjing itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Mereka mengejek orang kaya itu dengan melakukan sesuatu yang bisa membantu si pengemis yang penuh dengan borok itu. Paling kurang, Lazarus menjadi semakin bersih dan tidak berbauh tengik lagi karena sel-sel mati dari boroknya telah diangkat. Pekerjaan yang hebat dan luar biasa.
Lanjutan cerita si kaya dan Lazarus menyadarkan kita. Apa yang kita tanam di dunia, itulah yang akan kita petik sesudah kita meninggal. Apa yang kita tabur itulah juga nantinya yang akan kita panen. Kalau selama hidup kita melakukan hal baik, maka yang baik pula yang akan kita dapat sesudah kita meninggal. Kalau hal yang buruk kita lakukan semasa kita hidup, maka hal yang buruk juga yang akan kita alami sesudah kematian. Ada hubungan sebab akibat yang tak terbantahkan.
Orang kaya dan Lazarus tadi, mengalami akhir hidup yang berbeda. Orang kaya mendapat kutukan api yang panas, karena memang selama hidupnya “tidak pernah” menjadi sarana keselamatan untuk orang lain. Ia hanya berpikir tentang dirinya sendiri. Padahal Allah yang kita imani dan yang kita sembah selalu hadir dalam diri sesama yang ada di sekitar kita dan yang kita jumpai setiap hari. Pertanyaan untuk kita: Apakah kita sudah membawa Allah dan keselamatan untuk sesama kita?. Keselamatan adalah situasi di mana orang mengalami sukacita, damai dan semua hal yang baik lainnya yang terjadi dalam hidup. Surga bukan ada sesudah kematian. Surga itu ada sejak kita hidup di dunia ini. Kita harus berusaha untuk menciptakan surga bagi sesama dan juga untuk diri sendiri. Andaikan selama ini, kita belum menjadi sarana keselamatan untuk sesama maka inilah saat dan harinya untuk kita mulai mengubah diri agar menjadi sarana yang membuat orang lain mengalami surga di dunia ini.
Paulus menasihati Timotius tentang beberapa hal penting dalam hidup: “jauhilah semua kejahatan, kejarlah keadilah, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal” (bdk 1Tim 6:11-16). Inilah idealisme kemuridan yang mestinya dimiliki oleh setiap pengikut Kristus. Hidup kita mestinya menjadi hidup Kristus. Pikiran dan tutur kata kita mestinya menjadi tutur kata Kristus. Semua yang kita lakukan, mestinya meniru apa yang Kristus sendiri lakukan. Sadarilah, bahwa Yesus bekerja, ia adalah tukang kayu. Yesus ada bersama orang lain, hidup bersama orang lain, berjalan bersama orang lain. Ia peduli dengan orang lain yang sakit, yang menderita, yang hilang harapan bahkan yang mati dihidupkanNya kembali. Semoga kita menjadi “Yesus-Yesus kecil” dalam hidup setiap hari.
Comentarios